PENGELOLAAN HAMA TERPADU
Pengelolaan
hama terpadu atau PHT, merupakan suatu pendekatan pengelolaan hama yang
menggabungkan beberapa strategi pengelolaan hama yang berbeda kedalam suatu
sistem pengelolaan yang kompatibel dan meneyluruh.
Perlindungan
tanaman merupakan bagian dari sistem budidaya tanaman yang bertujuan untuk
membatasi kehilangan hasil akibat serangan OPT menjadi seminimal mungkin, sehingga
diperoleh kwalitas dan kwantitas produksi yang baik. Sejak Pelita III
pemerintah telah menetapkan sistem PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program
perlindungan tanaman, dasar hukum PHT tertera pada GBHN II dan GBHN IV serta
Inpres 3/1986 yang kemudian lebih dimantapkan melalui UU No.12/1992 tentang
sistem Budidaya Tanaman ( Anonimous, 1994).
Konsep
PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan pengendalian hama
secara konvensional, yang sangat utama dalam manggunakan pestisida. Kebijakan
ini mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani yang tidak tepat dan
berlebihan, dengan cara ini dapat meningkatkan biaya produksi dan mengakibatkan
dampak samping yang merugikan terhadap lingkungan dan kesehatan petani itu
sendiri maupun masyarakat secara luas.
Secara
ekonomi kebijakan pemerintah sebelum tahun 1989 memberikan subsidi yang besar
untuk Pestisida sebesar antara 100 – 150 juta US$ atau sekitar 150 milyar
rupiah pertahun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk meningkatkan kembali efisiensi dan efektifitas pengendalian serta untuk
membatasi pencemaran lingkungan maka kebijakan dan pengendalian secara
konvensional harus dirubah menjadi pengendalian berdasarkan konsep dan prinsip
PHT. Kemudian secara bertahap subsidi pestisida di cabut, dan baru tahun 1989
subsidi tersebut sepenuhnya dicabut, metoda yang cukup baik dan mudah
dilaksanakan melalui pola Sekolah Lapang PHT ( SLPHT) dengan menganut pola
pendidikan orang dewasa yaitu belajar dari pengalaman sendiri langsung di
lapang (Anonimous,2004).
PHT
merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT
yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam
rangka pengelolaan agro-ekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.
Sebagai sasaran teknologi PHT adalah :
1)
produksi pertanian mantap tinggi,
2)
Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat,
3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman
tetap pada aras secara ekonomi tidak merugikan dan
4) Pengurangan resiko pencemaran
Lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan (Anonimous, 2004 ).
Beberapa
konsep dalam PHT, yaitu :
a.
Karantina
Mengusahakan agar tanaman yang
masuk kedalam suatu wilayah tidak terserang hama dan penyakit tanaman. Dengan
adanya lembaga karantina, tanaman yang masuk kedalam suatu daerah ataupun
negara dapat diperiksa terlebih dahulu. Apabila tanaman terdeteksi memiliki
penyakit dan hama maka tanaman tersebut dikarantina bahkan bisa dimusnahkan.
b.
Kultur
teknis
Pengendalian secara kultur teknis adalah usaha
memanipulasi lingkungan secara agronomi, atau mengalihkan perhatian hama
sehingga tanaman utama terbebas dari serangan hama, misalnya dengan sistem
tumpang sari.
c. Penggunaan Varietas tahan
Penanaman varietas resisten merupakan salah satu komponen cara
pengendalian yang paling murah, aman, relatif tahan lama dan mudah dilaksanakan
petani.
d. Fisik
Dilakukan
secara fisik yaitu bisa dengan penggunaan perangkap, pembersihan lahan dari
sisa-sisa tanaman.
e. Biologi
(musuh alami)
Musuh alami seperti parasitoid, predator dan
patogen serangga sangat berperan untuk menekan populasi hama dan juga
pemanfaatan agens hayati untuk pengendalian penyakit pada tanaman.
f. Pestisida
Nabati
Penggunaan
pestisida nabati yang berasal dari tumbuhan atau bahan – bahan alami sehingga
mengurangi pencemaran lingkungan.
g. Kimia
Penggunaan pestisida sintetis merupakan
alternatif terakhir yang tidak dianjurkan penggunaannya, karena dapat mencemari
lingkungan dan meninggalkan residu yang berbahaya bagi manusia dan hewan
ternak.
1.
Peran
PHT dalam SPT.
Pertanian
terpadu pada hakekatnya adalah memanfaatkan seluruh potensi energi sehingga
dapat dipanen secara seimbang. Pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu
atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu
tertentu dalam proses produksi. Dengan pertanian terpadu ada pengikatan bahan
organik di dalam tanah dan penyerapan karbon lebih rendah dibanding pertanian
konvensional yang pakai pupuk nitrogen dan sebagainya. Agar proses pemanfaatan
tersebut dapat terjadi secara efektif dan efisien, maka sebaiknya produksi
pertanian terpadu berada dalam suatu kawasan. Pada kawasan tersebut sebaiknya
terdapat sektor produksi tanaman, peternakan maupun perikanan. Keberadaan
sektor-sektor ini akan mengakibatkan kawasan tersebut memiliki ekosistem yang
lengkap dan seluruh komponen produksi tidak akan menjadi limbah karena pasti
akan dimanfaatkan oleh komponen lainnya.
Pengalaman menunjukkan bahwa pengendalian hama dan penyakit
dengan mengandalkan satu komponen pengendalian saja, seperti insektisida,
varietas tahan atau musuh alami, belum memberikan hasil yang optimal. Untuk
mengatasi masalah ini, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.12/ 1992
tentang Sistem Budi Daya Tanaman yang menekankan pentingnya pengendalian hama
terpadu.
Konsep PHT dihasilkan melalui pertemuan panel para ahli Badan
Pangan Dunia di Roma pada tahun 1965. Intisari dari konsep PHT adalah: PHT merupakan sistem pengendalian hama dalam hubungan antara
dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis
hama, serta menggunakan berbagai teknik
pengendalian yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama selalu di bawah
ambang ekonomi. Di Indonesia, konsep PHT telah diakomodasikan ke dalam sistem
produksi pertanian dan implementasinya di masa lalu dapat dikelompokkan ke
dalam dua pola, yaitu pola sentralistik dan pola partisipatif.
Tujuan utama dari usaha tani adalah mendapatkan
hasil yang tinggi dengan keuntungan yang tinggi pula dalam proses produksi yang
ramah lingkungan. Oleh karena itu, PHT perlu diintegrasikan dan menjadi bagian
penting dari system pertanian terpadu. Pada dasarnya teknik budi daya
mempengaruhi perkembangan hama dan penyakit. Di masa yang akan datang, PHT
sebaiknya menjadi satu paket dengan budi daya padi dalam sistem pengelolaan
tanaman terpadu (SPTT), sesuai dengan rekomendasi Komisi Padi Internasional
kepada FAO pada pertemuan ke-9 tahun 1998 di Mesir.
Melalui manfaat konsep PHT
yang diterapkan akan sangat membantu sekali dalam penerapan Sistem pertanian
terpadu, seperti :
1.
Tidak memberantas Hama dan Penyakit namun
hanya mengendalikan sampai batas ambang ekonomi, sehingga tetap menjaga
keseimbangan ekosistem
2.
Ramah lingkungan, karena tidak
menggunakan insektisida yang berlebih. Hal ini sesuai dengan tujuan Sistem
Pertanian Terpadu yaitu menerapkan pertanian berkelanjutan
3.
Melalui pola tanaman polikultur dapat
menghambat perkembangan hama, dan ini sesuai dengan tujan dari SPT yaitu
meningkatkan keragaman hayati
4.
Penggunaan pestisida lebih minim,
sehingga dapat mengurangi biaya produksi dan menguntungkan bagi petani.
Dengan digunakannya konsep PHT dalam SPT maka diusahakan
para petani dapat meminimalsir pengeluaran dalam penggunaan pestisida sintetis
dan mampu memanfaatkan energi dan sumberdaya yang ada sebaik-baiknya dalam
proses budidaya tanaman. Sehingga petani mempu mengurangi resiko
dan dampak yang ditimbulkan oleh
pupuk dan pestisida sintetis, efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja,
mengurangi ketergantungan terhadap input luar, sistem ekologi lebih lestari dan
melindungi lingkungan hidup, meningkatkan out put. Yang mana semua ini adalah
keuntungan dari SPT, keuntungan ini dapat terwujud bila sistem PHT diterapkan
dalam SPT.
2.
Peranan
Agroekosistem dalam PHT
Pengelolaan
agroekosistem dalam pengendalian hama, merupakan salah satu metode dalam Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) yang diterapkan dengan pendekatan ekologi. Penerapan metode
ini dilakukan setelah dipahami faktor-faktor penyebab suatu agroekosistem
menjadi rentan terhadap eksplosi hama, dan dikembangkan metode-metode yang
dapat meningkatkan ketahanan agroekosistem tersebut terhadap eksplosi hama.
Prinsip utama dalam pengelolaan agroekosistem untuk pengendalian hama adalah
menciptakan keseimbangan antara herbivora dan musuh alaminya melalui
peningkatan keragaman hayati. Peningkatan keragaman vegetasi dan penambahan
biomassa, dapat meningkatkan keragaman hayati dalam suatu agroekosistem.
Peningkatan keragaman vegetasi dilakukan melalui pola tanam
polikultur dengan
pengaturan agronomis yang optimal. Penambahan biomassa dilakukan dengan mengaplikasikan
mulsa, penambahan pupuk hijau dan pupuk kandang. Kedua metode ini ditujukan
untuk mendapatkan produktivitas lahan yang optimal dan berkelanjutan.
Faktor-faktor
penyebab kerentanan agroekosistem terhadap ekspoitasi hama adalah sebagai
berikut :
1.
Penurunan Keragaman Lanskap
Pengembangan
pertanian secara besarbesaran di negara industri mengakibatkan perubahan
terhadap keragaman lanskap, karena adanya penyederhanaan agroekosistem melalui
perluasan lahan, penambahan kepadatan tanaman, peningkatan keseragaman tanaman
dalam umur dan kualitas fisik, serta penurunan keragaman intra dan ekstra
spesifik dalam pertanaman. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya kesenjangan
perkembangan antara herbivora dan musuh alaminya. Terdapat fenomena bahwa
serangga herbivora masuk dalam pertanaman dan memencar secara bersamaan pada
suatu pertanaman, sedangkan musuh alaminya masuk mulai dari tepi pertanaman dan
menyebar ke tengah dengan selang waktu 3 minggu (Price, 1976). Kondisi ini akan
mengakibatkan ketidakseimbangan antara hama dan musuh alaminya.
2.
Penurunan Keragaman Tanaman
Sistem pertanian monokultur
menurunkan jumlah dan aktivitas musuh alami karena terbatasnya sumber pakan, seperti
polen, nektar dan mangsa atau inang alternatif yang diperlukan oleh musuh alami
untuk makan, bereproduksi (Andow, 1991) serta tempat untuk refugia untuk
bertahan pada suatu ekosistem (Jervis et al, 2004). Sebaliknya, bagi serangga
herbivora, pertanaman monokultur merupakan sumber pakan yang terkonsentrasi dalam
jumlah banyak, sehingga herbivora tersebut dapat bereproduksi dan bertahan dengan
baik. Beberapa serangga herbivora dilaporkan dapat berkembang biak dengan baik pada
pertanaman monokultur yang dipupuk, disiang dan diairi secara intensif (Price,
1991). Kondisi agroekosistem seperti ini secara terus menerus akan menyebabkan
agroekosistem menjadi rentan terhadap eksplosi hama.
3.
Penggunaan Pestisida
Dampak negatif
dari penggunaan insektisida kimia secara intensif dalam jangka panjang telah banyak
dilaporkan, yaitu timbulnya resistensi, resurgensi, munculnya serangga
sekunder, dan polusi. Sedikitnya telah dilaporkan adanya 50 spesies arthropoda
yang telah resisten terhadap insektisida dan akarisida (van Driesche dan Bellows,
1996). Resistensi musuh alami terhadap insektisida, kalau pun terjadi, sangat
lambat, karena musuh alami berpeluang kecil mempunyai gen yang resisten, karena
populasi rendah, serta proses evolusi yang berbeda dengan herbivora.
4.
Pemupukan yang Tidak Berimbang
Pemupukan
Nitrogen dengan dosis tinggi dapat menyebabkan peningkatan kerusakan tanaman
oleh herbivora. Beberapa studi melaporkan bahwa pemberian beberapa tingkat pupuk
N berkorelasi positif dengan peningkatan populasi herbivora, karena adanya
peningkatan kapasitas reproduksinya
5.
Iklim
Cuaca dapat
menjadi faktor abiotik penting pemicu peledakan populasi hama. Hal ini tidak terlepas
dari faktor fisiologis herbivora. Komponen iklim yang paling berpengaruh terhadap
perkembangan populasi serangga adalah suhu dan kelembaban udara.
Pengelolaan agroekosistem untuk mendapatkan produksi yang
berkelanjutan dan sesedikit mungkin berdampak negatif terhadap lingkungan dan
sosial, serta input rendah dimungkinkan dengan menerapkan prinsip-prinsip
ekologi sebagai berikut (Reijntes et al., 1992):
1. Meningkatkan daur
ulang dan optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan alur hara. Prinsip ini
dapat dilakukan dengan melakukan rotasi dengan tanaman-tanaman pupuk hijau.
2. Memantapkan kondisi
tanah untuk pertumbuhan tanaman dengan mengelola bahan organik dan meningkatkan
biota tanah. Pemberian biomassa pada lahan akan menambah bahan organik yang
selanjutnya akan meningkatkan biota tanah yang berguna dalam peningkatan
kesuburan tanah.
3. Meminimalkan
kehilangan karena keterbatasan ketersediaan air melalui pengelolaan air. Air
dibutuhkan tanaman untuk dapat berproduksi optimal, sehingga ketersediaannya
pada waktu dan jumlah yang cukup, sangat berpengaruh terhadap produktivitas
lahan. Pengelolaan air dapat dilakukan dengan teknik-teknik pengawetan air
tanah.
4. Meningkatkan
keragaman spesies dan genetik dalam agroekosistem, sehingga terdapat interaksi
alami yang menguntungkan dan sinergi dari komponen-komponen agroekosistem
melalui keragaman hayati.
Perancangan agroekosistem untuk pengendalian hama dapat
dilakukan melalui pengeloaan habitat yang targetnya adalah:
1. Meningkatkan
keragaman vegetasi melalui sistem tanam polikultur.
2. Meningkatkan
keragaman genetik melalui penggunaan varietas dengan ketahanan horizontal yang
dirakit dari plasma nutfah lokal.
3. Memperbaiki pola
tanam dan menerapkan sistem rotasi tanaman kacang-kacangan, pupuk hijau,
tanaman penutup tanah dan dipadukan dengan ternak.
4. Mempertahankan
keragaman lanskap dengan meningkatkan koridor-koridor biologis.
SUMBER
Habazar, Trimurti. 2006. Pengendalian
Hayati Hama dan Penyakit Tumbuhan. Universitas Alndalas : Padang
ddddd
BalasHapus